Setiap kali memasuki maupun mengakhiri tahun politik entah itu Pilkada, Pilpres dan Pileg, fenomena menguatnya penyebaran berita hoaks menjadi horor yang menakutkan. Hoaks diibaratkan semacam sel kangker yang merusak rasionalitas dan akal sehat manusia.
Ia ditularkan secara membabi buta dan digembar-gemborkan melalui media sosial oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memutar balikan fakta. Dibalik hoaks ada klaim kebenaran palsu yang sengaja dipertontontkan guna memanipulasi kesadaran kolektif publik.
Memang tak dapat dipungkiri kalau kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sejak kurang lebih 500 tahun lalu ketika penemuan mesin cetak pertama buatan Gutenburg dan 25 tahun sejak kemunculan website online pertama di dunia, menjadikan media sosial sebagai alat penyebaran berita yang cepat ke hampir setiap orang.
Namun dibalik kemajuan dan perkebangan teknologi informasi dan komunikasi juga memiliki efek deskruktif, salah satunya masifnya berita-berita bohong seperti yang kita saksikan sekarang ini.
Terkait penyebaran berita bohong alias horor hoax yang semakin menjadi-jadi itu, Kementrian Komunikasi Dan Informatika (Menkominfo), mengungkapkan bahwa pada sepanjang Agustus sampai Desember 2018 ada 62 konten hoax, dan terdapat sekitar 800.000 situs penyebar berita hoax di indonesia. Di bulan Februari hingga menjelang pemilu 2019, ada 350 lebih berita hoax yang berdar di media sosial (kominfo.go.id, 2019).
Prediksi bahwa potensi penyebaran berita hoax terus meningkat pasca pemilu menjadi gambaran akan dinamika perpolitikan kita yang kian mengkultuskan narasi kebohongan untuk meraih kekuasaan. Menjelang penetapan hasil pemilu oleh KPU misalnya, berita-berita hoax bertebaran dan memuncak pada aksi massa kelompok oposisi pada 22 Mei silam sebagai pratanda bahwa, klaim-klaim kebenaran palsu yang sengaja digembar-gemborkan oleh oposisi borjuistik untuk memanipulasi kesadaran kolektif masarakyat.
Disamping itu, menurut Asosiasi Pengelola Jasa Internet Indonesia (APJII) terdapat 143 juta lebih pengguna internet di indonesia tahun 2019 atau setara 54,7% dari total populasi di republik ini. Ini menjadi pasar potensial penyebaran berita palsu ditengah minimnya budaya literasi dan bersemayamnya berbabagi prasangka non ilmiah. Walalupun pada tahun 2017 silang, pemerintahan Jokowi-JK telah membentuk satuan tugas (Satgas) anti hoax untuk melawan berbagai pemberintaan bohong yang meresahkan, tapi hoax semakin menjadi-jadi dan sulit dikendalikan.
Lantas pertanyaanya adalah mengapa penyebaran berita hoax kian menjadi femomena yang terus aktual? Latar belakang struktural macam apa yang mengkondisikan penyebaran berita bohong alias hoax semakin akut?
Dengan menggunakan kacamata ekonomi politik, penulis hendak menyodorkan sekelumit analisa tentang fenomena ini. Namun, sebelum membahasnya, kita mungkin perlu sejenak tengok soal apa itu post truth dan hoax.
Frasa post truth pertama kali di perkenalkan oleh seorang penulis keturunan Siberia bernama Steve Tesich dalam sebuah esai di tahun 1992 tentang skandal Iran-Contra dan perang teluk. Pada tahun 2016, sebuah kamus online terpuler di dunia Oxford Dictionaries milik Universitas Oxford, memilih istitalh post truth sebagai Word of the Yeard. Istilah post truth diartikan sebagai sebuah istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang objektif.
Menurut kamus Merriam Webster (2016), post truth digunakan ketika fakta-fakta tidak lagi relevan dalam politik. Sedangkan hoax sendiri dapat diartikan sebagai tindakan untuk menipu orang atau menjadikan sesuatu kebenaran umum melalui fabrikasi dan kebohongan yang disengaja Dengan demikian dalam konteks politik, hoaks adalah seni untuk menipu rakyat.
Istilah post truth kembali popular di pentas politik dan pertarungan kursi kepresidenan Amerika Serikat yang dimenangkan oleh Donal Trump, melalui propaganda media mainstream AS, salah satunya The Economic. Dalam pertarungan kekuasaan itu, Trump menggunakan post truth juga hoaks untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Mulai dari hoaks bahwa Obama bukan orang kelahiran AS, penyangkalan terhadap pemanasan global dan lain- lain.
Hal yang tentunya menjadi menarik adalah dimana kaitannya dengan jalannya perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat yang mengakibatkan penyebaran informasi yang begitu cepat dan luas, maka dari itu pembentukan opini publik melalui penyebaran informasi ini semakin besar yang arahnya dijadikan alat politik.
Dewasa ini penggunaan teknologi berbasis media sosial sangat besar dimana muncul pergeseran para aktor politik untuk melakukan sosialisasi visi dan misinya di media sosial. Hal ini yang akhirnya memunculkan fenomena Post Truth yang akhirnya mempengaruhi hampir seluruh sendi kehidupan manusia. Dapat dilihat dari berbagai gerakan yang muncul di hampir seluruh penjuru dunia mulai dari inggris dan amerika serikat yang mengakibatkan kemunculan gerakan populisme yang masif.
Dengan slogan kampaye Donal Trump yakni “Make America Great” again atau “Buat Amerika Jaya Kembali”, bisa menemukan gaungnya diantara massa pendukungnya akibat jutaan rakyat AS yang semakin resah dengan tingginya angka PHK, kemiskinan, kriminalitas dan sebagainya yang tertimpa krisis kapitalisme yang makin mendalam sejak 2008 dan tak kunjung memperlihatkan kenaikan.
Di Indonesia, fenomena hoax semakin ramai ketika memasuki tahun politik entah itu Pilkada, Pilpres dan Pileg. Namun, hoaks alias seni menipu rakyat sebenarnya sudah jauh- jauh hari digunakan oleh rezim Orba untuk mebantai jutaan rakyat yang dituduh terlibat PKI di tahun 65, tuduhan bahwa komunis anti agama, penculikan aktifis dengan tunduhan membuat tindakan makar dan lain sebagainya. Ini fakta sejarah hoaks masa lalu yang sampai sekarang belum tuntas penyelesaiannya.
Hingga saat ini, berbagai Mentri dan Politisi yang becokol di lingkaran rezim penguasa adalah kelanjutan dari penyebar berbagai hoax di masa lalu. Misalnya Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam turut bertanggung jawab adalam mendirikan organisasi sipil reaksioner Pam Swakarsa yang dimasa krisis 98 ikut memobilisasi kaum reaksioner pedesaan dengan dusta bahwa orang-orang kafir tak bertuhan hendak menggulingkan negara. Mereka juga membuat sentimen dan hoax anti Tionghoa untuk menggeser konflik horizontal rakyat menjadi konflik vertikal.
Dan mereka terus dipelihara oleh rezim penguasa hari ini, padahal tangan dan mulut mereka telah menyebarkan kebohongan.
Ekonomi Politik Penyebaran Hoaks
Secara ekonomi politik, harus dipahami bahwa post truth dan hoax dengan pengutamaan sentimen diatas fakta dan kenyataan yang begitu menguat memiliki korelasi dengan posisi kelas-kelas sosial tertentu yang memiliki kapital/modal dan kekuasaan. Kelas sosial yang empunya kapital/modal dan kekuasaanlah yang mampu mengontrol dan mengendalikan media dan pers sebagai salah satu instrumen demokrasi. Mereka juga mampu mengendalikan institusi-institusi negara, seperti militer, parpol, perusahan-perusahan, dan institusi lannya.
Mereka adalah borjuis kapitalistik yang menindas kelas sosial lainnya dengan menyebarkan horor hoaks dan ketakutan untuk mempertahankan staus quo dan merampok sumber daya negara untuk kepentingan mereka. Sehingga dengan didukung oleh kekayaan material yang berlimpah dan jejaring kekuasaan yang kuat, para oligarki kapitalistik ini menjadi kekuatan dominan di tingkat nasional maupun lokal. Maupun kaum elit agamawan yang memonopoli wacana tafsir kebenaran untuk memberikan pembenaran bagi kekuasaan bagi para politisi dan penguasa di satu sisi serta mengamankan previlese mereka.
Namun perlu digaris bawahi bahwa Istilah post truth dan hoaks kembali baru populer belakangan ini sebab baru sekaranglah krisis kapitalisme sedemikian mendalam sampai mengakibatkan krisis politik dan perpecahan yang semakin parah diantara kubu-kubu borjuasi.
Tindakan rezim Jokowi JK yang hendak menggebuk kelompok fundamentalis seperti FPI, HTI, dan oposisi lainnya lewat berbagai kebijakan seperti UU ITE, payung hukum pembentukan badan Cyber Nasional dan Satgas Anti Hoax tidak murni untuk menghancurkan politik hoax, mereka hanya menggunakan isu ini untuk menghancurkan oposisi sesama borjuis atau secara umum digunakan untuk merepresi gerakan rakyat dengan menumpulkan daya analisa rakyat lewat pembodohan dan berbagai stigma yang dibalut dengan demagog dan prasangka.
Jika rezim selalu berprasangka bahwa, berita-berita seperti kemunculan komunisme dan lain-lain menjelang pilkada, pilpras dan pileg, atau berbagai berita palsu yang menyerang rezim sebagai hoax, maka kita bisa mengatakan bahwa manipulasi kesadaran yang dilakukan oleh penguasa dan para pendukungnya dibalik kebijakan yang tidak pro rakyat, seperti kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), TDL, Upah Murah untuk buruh, reforma agraria setengah hati, krisis air munum dan lainnya, sebagai hoaks yang lebih halus karena melibatkan institusi negara dengan fakta-fakta yang sudah dimanipulasi dan jauh direduksi yang pada akhirnya menjadikan rakyat sebagai mangsa dari kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Fenomena Post Truth sangat tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi informasi dimana memiliki dampak yang sangat besar untuk pembentukan opini masyarakat Sumatera Barat. Bisa dilihat bahwa masyarakat Sumatera Barat adalah masyarakat yang sudah melek terhadap teknologi informasi terkusus dengan sosial media dimana selama masa kampanye pemilihan presiden kemaren masyarakat Sumatera Barat cendrung aktif di media sosial untuk menyampaikan aspirasinya,
Akan tetapi yang terlihat adalah bahwa di media sosial masyarakat Sumatera Barat malah memiliki pandangan atau perspektif negatif terhadap Joko Widodo dan yang paling bisa dilihat bahwa masyarakat Sumatera Barat bahkan banyak yang mengamini berita-berita yang ada di media sosial atau media online yang bahkan belum dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya, bahkan menjurus kearah berita atau informsi yang tidak benar (hoaks).
Dengan demikian politik penyebaran hoaks baik oleh pemerintah maupun oleh oposisi borjuis reaksioner adalah cara isntan untuk memobilisasi sentimen kemarahan dan kebencian rakyat yang dimiskinkan dan teralienasi untuk tujuan politik sesat. Selain karena tunpulnya alternatif atas kondisi yang terjadi, juga karena lemahnya budaya literasi masyarakat kita.
Oleh : Putri Balqis
Penulis Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh