Banda Aceh, Harian Analisa – Dengan bersemangatnya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengusulkan calon tunggal Pejabat (Pj) Gubernur Aceh kepada Mendagri sarat kepentingan oknum tertentu dengan mengintervensi DPRA dalam pengusulan Pj Gubernur Aceh kepada Mendagri, demikian kata Pengamat Politik Aceh, Dr. Taufik A Rahim, Kamis 15/06/2023.
Pengamat Politik Aceh, mengungkapkan, usul pengganti PJ Gubernur Aceh Achmad Marzuki oleh DPRA sarat akan kepentinga dan adanya trankasional terkait usulan tunggal, “Langkah yang ditempuh DPRA bermasalah bertentangan dengan PP 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil pasal 110 sampai dengan pasal 129,”
Ini berkenaan dengan pengangkatan Sekda Aceh Bustami tanpa melalui seleksi terbuka, tiba-tiba diangkat jadi sekda dari staf nonjob.
Memang sebelumnya pernah di eselon dua (Jabatan Pratama) tapi baru satu kali lalu Bustami mengundurkan dari Jabatan.
Demikian juga, Jabatan sekda itu jabatan strategis selain eleson 1.b dan menyangkut nasib 5,38 juta rakyat Aceh, semestinya diseleksi secara ketat dan khusus selain mengikuti kaedah umumnya atau “fit and proper test” terbuka serta transparan.
Bila dikaji dari peraturan perundang-undangan, ternyata apapun peraturan tidak masuk dan memiliki legasi, misal aturan lama, mekanismenya minimal harus dua kali menduduki eselon dua yang berbeda, ini apalagi dari staf biasa langsung menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh.
Sehingga sambung Taufik memerlukan pertimbangan aturan serta proses yang benar, jujur serta bertanggung jawab, tidak hanya kepada DPRA, tetapi seluruh rakyat Aceh yang merupakan pemilik kekuasaan dan kedaulatan demokrasi politik.
Karena DPRA adalah representasi keterwakilan rakyat Aceh secara legislatif pada elite kekuasaan politik dan kebijakan di Aceh, semestinya membela kepentingan rakyat Aceh sejak awal, mengusul Pj hasil pesanan oligarki yang bermain di Aceh.
Sebenarnya, adanya Pj. Gubernur di Aceh karena “keterlambatan kesadaran politik akibat ketidak mampuan para wakil Rakyat di DPRA dalam mempertahankan UUPA”, yang semestinya di Aceh tidak ada Pj. Gubernur seandainya secara Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Nomor 11 Tahun 2006, tidak dilanggar serta diabaikan oleh elite politik eksekutif dan legislatif (DPRA) yang tidak mampu melaksanakan tiga fungsinya, yaitu perencanaan, pengawasan dan legislatif.
Sehingga hari ini menyebutkan Pj. Gubernur Aceh membuat gaduh, tidak mampu menurunkan kemiskinan dan pengangguran, rendahnya pertumbuhan ekonomi sebesar 4,21â„… (dari target 6â„… untuk Aceh).
Juga ada banyak catatan seperti, omong kosong tentang investor ke Aceh, “cawe-cawe Bank Aceh”, mengeluarkan lebih 300 izin tambang galian C, mengabaikan kepentingan terhadap rakyat, organisasi massa, pemuda dan mahasiswa, banyak lagi lainnya.
Maka kata Taufik, menjelang akhir masa jabatannya setahun DPRA sibuk peduli. Selama ini begitu lemah dan tidak berdaya berhadapan dengan Pj. Gubernur Aceh, juga berada pada posisi subordinat, seolah-olah sekaran beraksi melawan Pj. Gubernur Aceh yang dianggap tidak pro rakyat.
Jika benar mematuhi UUPA dan berjuang untuk Aceh, semestinya dilaksanakan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) pada tahun 2022 yang lalu, DPRA kemana saja?
Demikian ngototnya mengusulkan calon tunggal patut diduga oleh rakyat Aceh serta seluruh elemen di Aceh ada “transaksional politik” berhadapan dengan pesta demokrasi politik pada tahun 2024 yang akan datang.
Dimana kapitalisasi memerlukan ongkos dan biaya besar sebagai calon legislatif untuk Pemilu 2024 yang akan datang.
Sehingga berusaha seolah-olah berjuang dengan isu putra daerah, sesungguhnya ini pencitraan, sandiwara dan “dagelan politik” DPRA untuk meraih simpati rakyat Aceh.
“Ini konyol melanggar ketentuan peraturan dan UU dan terus memaksa ke Pemerintah Pusat RI/Presiden (Kemendagri) yang belum tentu diterima, sesungguhnya ada “agenda tersembunyi/hidden agenda), menyembunyikan indikasi transaksional politik yang menjadi pembicaraan dan diskusi rakyat Aceh saat ini secara luas, demikian keterangannya.***